Suku Minahasa
A.
Asal usul & Sejarah
Suku Minahasa adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Utara, Indonesia. Suku Minahasa merupakan suku bangsa terbesar di provinsi Sulawesi Utara. Dari pendapat Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Tionghoa Kuno, 1997 datang meneliti ke Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan bahwa orang Minahasa merupakan keturunan dari Raja Ming dari tanah Tionghoa yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming dari pulau itu". Tapi pendapat tersebut Lemah menurut David D.S Lumoindong, karena jika Minahasa berasal dari keturunan Dinasti Ming, maka seharusnya ilmu Pengetahuan kerajaan Ming yang sudah pada taraf yang maju seharusnya terlihat.[1]
(Sumber : Google//Http//Sindo.co.id//)
Sejarah Asal Usul Suku Minahasa- Daerah Minahasa di Sulawesi Utara diperkirakan pertama kali telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Para peneliti memperkirakan suku bangsa Minahasa berasal dari Formosa Taiwan, keturunan suku bangsa Austronesia dari Formosa Taiwan, yang melakukan perjalanan panjang melalui Filipina dan terus ke Sulawesi. Banyak terdapat kemiripan bahasa dari bahasa Minahasa dengan bahasa-bahasa di Formosa Taiwan. Peninggalan arsitektur Minahasa maupun huruf dan bahasa Tionghoa pada tahun 1200-1400, tetapi kenyataannya Sebelum Eropa datang Peninggalan zaman Ming tidak ada di Minahasa, jadi pendapat Tandean sangat lemah untuk digunakan sebagai dasar dalam penulisan sejarah dan asal usul Minahasa. Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongolia dan kesamaan Warna kulit, yaitu kuning langsat. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada kepercayaan tradisional Minahasa sama seperti Shamanisme Mongol. Dan juga dipimpin oleh walian (pemuka agama) yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat dilihat juga di Dayak, dan Korea.[2]
B.
Letak Geografis & Etimologi Suku Minahasa
Minahasa terletak di Provinsi Sulawesi Utara. Orang Minahasa adalah suatu suku bangsa yang mendiami suatu daerah di bagian timur laut dari jazirah Sulawesi Utasa. Luas daerah Minahasa ialah seluas 6.000 km2. Wilayahnya meliputi kota Manado dan Bitung. Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku yaitu Babontehu, Bantik, Pasan Ratahan (Tounpakewa),Ponosakan, Tonsea, Tontemboan,Toulour, Tonsawang,Tombulu. Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995). Jadi walaupun orang Minahasa ada di mana saja pada akhirnya akan kembali dan bersatu, waktu itu akan terjadi pada akhir jaman, yang tidak seorangpun yang tahu. Seperti Opo Karema pernah kasih amanat “Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya. Pada tahun masehi kira-kira awal abad 6, orang Minahasa telah membangun Pemerintahan Kerajaan di Sulawesi Utara yang berkembang menjadi kerajaan besar. Kerajaan ini memiliki pengaruh yang luas ke luar Sulawesi hingga ke Maluku. Pada sekitar tahun 670, para pemimpin dari suku-suku yang berbeda, dengan bahasa-bahasa yang berbeda, bertemu di sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang membentuk satu unit dan tetap bersatu untuk melawan setiap musuh dari luar jika mereka diserang. Bagian anak suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu membangun pemerintahan kerajaan yang terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa. Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. orang Austronesia awalnya dihuni China selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara,Filipina selatan dan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.[3]
(Sumber : Google//http//Wikipedia.com)
|
Indonesia, Sulawesi Utara, Manado. Suku asli di sana adalah
Minahasa, lalu dari mana asalnya nenek moyang suku Minahasa. menurut cerita
mitos, mitos adalah cerita suci, sakral dan tidak sembarang di ceritakan. Nenek
moyang suku Minahasa adalah Dewi Bumi dan Dewa Matahari yang akhirnya
melahirkan keturunan Minahasa, cerita ini diceritakan dalam bahasa daerah dan
yang mengetahui hanyalah para Walian yang memang ditunjuk oleh Opo secara turun
– temurun. Biasanya cerita ini diceritakan secara umum pada saat upacara
Rumages, menjadi cerita Toar Lumimu’ut. Toar Dewa Matahari yang selalu
menyinari Minahasa dan Lumimu’ut Dewi Bumi yang memberikan kesuburan pada tanah
Minahasa dan keturunan. Berikut cerita singkat tentang Mitos Minahasa yang
dapat saya ceritakan karena cerita lebih lengkapnya memang hanya rahasia dan
cuma di ceritakan secara turun temurun. Karena jika diceritakan akan terjadi
banyak pertanyaan yang akan susah dijelaskan lebih lanjut misalnya Dewi Bumi
ini pada bahasa asli Astoreth dalam Alkitab. Sayapun hanya bisa menceritakan
begini saja mengenai mitos. seorang ahli bahasa dan huruf Cina Kuno, 1997
datang meneliti di Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang
terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa merupakan turunan Raja
Ming dari tanah Mongolia yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan
Tou adalah “orang turunan Raja Ming dari pulau itu. Namun aneh juga seperti
diketahui Dinasti Ming bukanlah orang Mongolia justru Dinasti Ming adalah yang
mengganti Dinasti Yuan yang dipimpin bangsa Mongol, oleh Kubilai Khan.
Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongolia. Memang bangsa mongol terkenal dengan dengan gaya hidup berperang dengan menguasai 1/2 dunia saat dipimpin oleh Genghis Khan, dan bangsa Mongol menyebar tidak terkecuali pergi ke Manado. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol. Dan juga dipimpin oleh Walian yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat dilihat juga di Kalimantan Dayak, dan Korea. Namun memang orang Minahasa sudah tidak murni dari Mongol saja, namun sudah campuran Spanyol, Portugis, dan Belanda yang diketahui keturunan Yahudi, namun lebih dipengaruhi oleh Kristen. Sebenarnya aslinya Suku Minahasa dari Mongol yang terkenal dengan kehebatan perang, dan Yahudi yang terkenal dengan kecerdasannya. Memang Belanda sebagi Yahudi yang masuk ke Indonesia hanya mendirikan satu tempat ibadah di Indonesia silahkan lihat Sinagog di Tondano. Seperti kita tahu Manado dalam prosesnya oleh Indonesia dibilang bangsa asing karena sangat dimanja oleh Belanda dan Sekutu. Serta sangat berbeda dengan ciri orang Indonesia pada umumnya. Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).[4]
C.
Adat Istiadat dan Tradisi
Kebudayaan Suku Bangsa Manado Suku Manado atau disebut juga Suku Minahasa adalah suku asli yang bermukim di Sulawesi Utara dan sebagian besar menghuni wilayah di Kota Manado. Suku ini juga menyebut dirinya sebagai suku Kawanua. Dan berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan tahun 2010 orang Manado sebagian besar menganut Agama Kristen Protestan. Sementara itu bahasa yang sering mereka gunakan sehari hari ialah bahasa Melayu Manado dengan menggunakan logat yang khas. Adat dari Manado sangat terkenal adalah Monondeaga yang menjadi sebuah upacara adat yang umumnya dilakukan oleh suku Manado/Minahasa terutama yang bermukim di daerah Bolaang Mongondow. Pelaksanaan upacara adat ini bertujuan memperingati dan mengukuhkan seorang anak perempuan ketika dia memasuki masa pubertas yang ditandai dengan adanya haid pertamaSecara garis besar, upacara adat Manado dilakukan sebagai ekspresi rasa syukur dan juga semacam uwar-uwar bahwa seorang anak gadis dari seseorang yang melaksanakan upacara adat ini telah menginjak ke masa pubertas. Oleh karena itu, agar kecantikan dan sikap kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka pada upacara adat ini sang gadis kecil itu daun telinganya ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya seorang gadis yang mulai bersolek ria, kemudian giginya diratakan (dikedawung) sebagai perlengkapan kecantikan dan suatu pertanda bahwa yang bersangkutan sudah menginjak masa dewasa.[5]
·
Rumah
Adat khas Suku Manado
Rumah-panggung-atau disebutwale. Rumah panggung atau wale adalah
tempat tinggal para anggota rumah tangga orang asli Minahasa di tanah Manado, didalamnya
digunakan untuk tempat melakukan berbagai kegiatan. Rumah panggung zaman dahulu
bertujuan untuk menghindari serangan musuh secara mendadak ataupun serangan
binatang binatang buas. Sekalipun keadaannya sekarang tidak sama lagi dengan
keadaan zaman dahulu, tetapi masih banyak penduduk yang tetap membangun rumah
panggung berdasarkan sistem konstruksi rumah modern.
·
Pakaian
Adat Suku Manado
Pakaian adat yang mereka kenakan yaitu berupa sebuah baniang atau
kemeja yang lengannya panjang berkerah atau tanpa kerah yang dihiasi semacam
saku pada bagian pada bagian bawah di sebelah kiri dan kanan juga bagian atas
sebelah kiri kemeja tersebut. Selain itu ditambahkan juga hiasan berupa sebuah
sulaman motif padi, kelapa dan juga ular naga pada bagian bawah lengannya dan
bagian depan kemeja itu. Pemakaian baniang ini biasanya dipadukan dengan celana
hitam yang polos tanpa hiasan yang panjangnya hingga ke tumit, dengan tipe yang
melebar di bagian bawah makin kebawah akan makin lebar. Ditambahkan juga
penggunaan sebuah ikat pinggang yang terbuat dari kulit ular patola yang
berbentuk sebuah mahkota di bagian depannya. Itulah sepintas gambaran mengenai
adat istiadat suku Manado.[6]
D.
Sistem Kepercayaan & Upacara Religi
Masa awal kehidupan atau zaman pra sejarah, manusia pada saat itu
hanya mengenal sistem kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan mereka
hanya sebatas pada pemujaan terhadap laut, gunung, tanjung, kolam, pohon, dan
tempat-tempat yang mereka anggap memiliki penghuni (ilah). Selain itu,
penghormatan terhadap roh nenek moyang juga mendapat peran penting pada
kepercayaan tersebut. Menurut L. M. Kansil, penganut animisme dan dinamisme ini
disebut ‘agama Khalaik’. Di salah satu daerah ini kemudian memunculkan
kepercayaan kepada “Aditinggi” yang merupakan raja dari arwah dan ilah-ilah
tersebut. Tempat bersemayam Aditinggi ini di puncak Gunung Awu Siau, dan
Aditinggi pulalah yang memerintah Ilah-ilah gunung lain. Rupanya dari
kepercayaan terhadap Aditinggi inilah asal usul perkataan ‘sasahara’ (kiasan)
untuk masuk gereja yaitu “Sumaka Wulude”
yang berarti mendaki gunung dan kalau diartikan lebih mendalam adalah menghadap
Illahi. Masyarakat pada zaman itu juga sudah percaya tentang adanya suatu
kekuatan gaib yang sering mempengaruhi kehidupan mereka. Upacara keagamaan yang
mereka adakan biasanya diselenggarakan di pohon-pohon besar, batu-batu besar,
tanjung, kuburan, dan tempat lainnya yang dianggap keramat. Upacara diadakan
secara besar-besaran dengan diiringi oleh nyanyian puji-pujian kepada si
Ghenggona Langi agar dapat memberikan berkat dan rahmat atas penyembahan dan
pengobatan yang mereka lakukan. Selain dengan nyanyian juga diiringi dengan
tarian-tarian dengan iringan tanggonggong, musik oli, bansi, arababu dan
lain-lain. Upacara tersebut diadakan sekali dalam satu tahun di tempat-tempat
tertentu. Dalam upacara ini, seluruh masyarakat pukau Sangihe hadir dengan
maksud “Mengundang Banua” yang berarti mengundang mengobati. Pengobatan ini
adalah untuk kesejahteraan dan kesehatan rakyat baik dalam pencaharian
sehari-hari maupun binatang ternak mereka. Ketika abad ke-1 sampai 15,
sesungguhnya agama telah mulai masuk di wilayah Nusantara, namun di daerah
Sulawesi Utara justru belum tersentuh agama, sehingga agama yang berkembang
tetap bersifat animisme dan dinamisme. Dengan demikian upacara yang mereka
selenggarakan masih dengan tujuan untuk memuja roh nenek moyang mereka.
Pemujaan mereka masih berada di pohon-pohon keramat, batuan besar, dan sungai.
Mereka juga percaya pada burung hantu yang dianggap keramat. Pada tahun
1600-an, agama mulai masuk ke daerah Minahasa. Sistem kerajaan juga mulai
dikenal pada saat itu. Sehingga daerah Minahasa kemudian terbagi menjadi empat
buah kerajaan, yaitu: Kerajaan Tahuna, Kerajaan Kendahe, Kerajaan Manganitu,
dan Kerajaan Tagulandang. Pada tahun itu pula, Minahasa menjadi tempat
pengabaran Injil yang dibawa oleh orang-orang Eropa. Yakni mulai tahun 1619,
agama Katolik mulai diaktifkan kembali setelah sempat terhenti sejak
pembaptisan Raja Manado pada tahun 1563. Tahun 1639, para misionaris
didatangkan ke Minahasa untuk mengajarkan agama Katolik. Dengan datangnya
orang-orang Belanda, agama Protestan juga mulai dikembangkan di Minahasa. Yang mula-mula
penganutnya hanya di kota Manado saja, kemudian menyebar pula ke daerah
pesisir, sehingga pada akhir abad ke-18 orang Tondano sering dikunjungi oleh
para pendeta dari Ternate sebagai guru Injil mereka.
Agama Islam pertama kali masuk ke Bolaang Mongondow, kurang lebih tahun 1660, pada masa Raja Datu Binangkang berusaha untuk bertemu dengan penguasa setempat. Agama Islam ini masuk melalui dua tempat, yaitu Bolaang dan Kotabangon. Setelah agama Kristen dan Katolik mulai melemah dan menghilang, agama Islam mulai tumbuh pesat di daerah tersebut. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa agama Islam masuk melalui Gorontalo atau dibawa oleh pedagang dari Bugis. Unsur-unsur pribumi terlihat dalam beberapa upacara-upacara adat yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran hidup Individu; seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian; maupun dalam bentuk pemberian kekuatan gaib atau sakti dalam menghadapi berbagai jenis bahaya yang dapat menimpa seseorang maupun seluruh rumah tangga, serta yang berhubungan dengan mata pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga tampak dalam wujud sebagai kedukunan (sistem medis makanatai) yang sampai sekarang masih hidup. Usaha manusia untuk mengadakan hubungan dengan makhluk-makhluk tersebut bertujuan supaya hidup mereka tidak dganggu, sebaliknya dapat dibantu dan dilindungi, dengan mengembangkan suatu kompleks sistem upacara pemujaan yang dahulu dikenal sebagai ne’empungan, atau ma’ambo atau masambo. Dalam mitologi orang Minahasa, rupanya kepercayaan dahulu juga mengenal banyak dewa. Dewa oleh penduduk disebut empung atau opo, dan untuk dewa tertinggi disebut Karema. Opo Wailan Wangko, dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Karema yang mewujudkan diri sebagai manusia adalah sebagai petunjuk jalan Lumimuut (seorang wanita sebagai manusia pertama) untuk mendapatkan keturunan seorang pria yang bernama Toar; juga dianggap sebagai pembawa adat khususnya cara-cara pertanian (cultural hero; dewa pembawa adat).[7]
(Sumber : Google//Ceritarakyatmnhsa.com)
Konsepsi jiwa (soul) bagi orang Minahasa rupanya tidak tegas dibedakan seperti pada konsepsi roh (Spirit). Jiwa yang dianggap sebagai kekuatan yang ada dalam tubuh manusia yang menyebabkan adanya hidup itu, rupanya mempunyai konsepsi yang sama dengan jiwa sesudah meninggalkan tubuh karena mati (roh). Konsepsi jiwa dan roh ini disebut katotouan. Dalam sistem kepercayaan Minahasa, roh-roh akan senantiasa dapat berhubungan dengan manusia. Nasib roh dalam dunia akhirat ditentukan oleh perbuatan-perbuatan semasa hidupnya. Dengan kata lain, kalau semasa hidupnya banyak melakukan perbuatan jahat maka rohnya juga akan menjadi jahat, begitu pula sebaliknya. Pada saat sekarang, sesuai dengan aturan agama Kristen, maka konsepsi dunia akhirat ialah sorga bagi yang selamat dan naraka bagi yang berdosa dan tidak percaya.
Upacara-upacara keagamaan pribumi, biasanya dilaksanakan pada malam
hari di rumah tona’as atau di rumah orang lain. Selain di tempat tersebut juga
dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti pada kuburan-kuburan
opo-opo, batu-batu besar, maupun di bawah pohon besar. Pada saat-saat tertentu
yang dianggap penting upacara dapat dilakukan di Watu Pinabetengan (tempat
paling keramat di Minahasa). Upacara-upacara yang dilakukan pada tempat ini
adalah upacara untuk mendapatkan kesaktian dari opo-opo untuk tujuan tertentu
yang dianggap baik melalui perantara tona’as. Upacara tersebut dilakukan pada
saat-saat tertentu, seperti pada saat malam bulan purnama, dimana seluruh
benda-benda sakti yang sudah diberikan harus diasapi (difufu) dengan membakar
kemenyan. Pada saat ini juga ada upacara pemberian benda sakti (batu, akar,
dll) kepada yang baru membutuhkan. Pemegang benda berkekuatan sakti harus
berjanji akan mematuhi pantangan-pantangan dan bersedia secara teratur
merawatnya sesuai dengan petunjuk. Gagal memenuhi peraturan-peraturan tersebut
akan mengakibatkan kekuatan sakti pada benda tersebut hilang atau benda itu
hilang sendiri, atau pemegangnya jatuh sakit. Dalam upacara-upacara tersebut
selalu disajikan sesaji dalam satu wadah (terdiri atas sirih, pinang, tembakau,
rokok, gambir, kapur dan makanan serta sebotol minuman alkohol) untuk semua
opo-opo yang datang berkunjung melalui tubuh tona’as.
Selain sebagai perantara dalam memanggil opo-opo, tona’as juga
berperan sebagai dukun untuk mengobati orang-orang sakit dengan teknik-teknik
tradisional yang disebut makatana. Dukun-dukun ini terbagi menjadi beberapa
spesialisasi, ada dukun yang disebut biyang yang melakukan perawatan kesehatan
ibu hamil, persalinan, dan pasca salin bagi ibu dan bayi. Tukang mawi, sebutan
untuk dukun yang dapat menunjukkan siapa yang mencuri barang seseorang. Madira
atau pandoti sebutan bagi orang dapat melakukan guna-guna atau fui-fui. Selain
itu terdapat juga Tu’a, yaitu orang tua yang ‘berpengetahuan’ dan yang arif
bijaksana di desa-desa. Orang tersebut biasanya melakukan pekerjaan yang
baik-baik seperti mengusir roh-roh jahat
sebelum memasuki rumah baru atau terhadap peristiwa-peristiwa lain.
Namun demikian, dukun yang memiliki profesi khusus dalam diagnosa dan terapi
penyakit yang lebih umum diartikan sebagai tou ma’undam. Orang Minahasa yang
beragama Protestan tidak hanya percaya pada ajaran-ajaran agamanya tetapi juga,
sedikit atau banyak percaya terhadap unsur-unsur atau konsepsi-konsepsi
tertentu dari religi pribumi. Tetapi tingkat kepercayaan perseorangan terhadap
unsur-unsur religi pribumi tidak sama d kalangan mereka, seperti halnya
terhadap agama resmi yang dianut. Bahkan ada orang yang menyatakan
ketidakpercayaannya sama sekali terhadap religi pribumi, sperti yang diharapkan
dari pendeta atau guru agama Islam. Sebaliknya, kalangan dukun akan melepaskan
profesi mereka kalau kepercayaan terhadap sistem medis adikodrati dan kodrati
pribumi hilang. Terlepas dari tingkat kepercayaan perseorangan, unsur-unsur
religi pribumi tidak dapat dibicarakan secara tersendiri karena berdasarkan
kenyataan-kenyataan dalam kehidupan keagamaan penganut Kristen, unsur-unsur ini
sebagai komponen-komponen pribumi , terpadu bersama dengan komponen Kristen (sebagai
suatu bentuk sinkretisme) yang di luar upacara-upacara formal Gerejani, tak
dapat dipisahkan satu dari lainnya, seperti yang terlihat pada upacara-upacara
pada masa kehamilan smapai meninggal maupun pada perilaku keagamaan
sehari-hari.
Dalam proses pembentukan sinkretisme unsur-unsur religi pribumi yang i yang tidak ditinggalkan yang tidak ditinggalkan telah mengalami penyesuaian maupun transofmasi makna sehingga persepsi orang Minahasa mengenai unsur-unsur religi ini tidak bertentangan dengan agama Kristen. Persepsi ini (dari sudut pandang pendukung kebudayaan yang bersangkutan, atau persepsi emic) tentu saja dapat berbeda dari, atau bahkan bertentangan dengan teologi Kristen (dari sudut pandang teologi Kristen, atau persepsi etic). Perubahan makna Opo Wailan Wangko sebagai konsep pribumi dewa tertinggi menjadi konsepsi Tuhan Allah telah lama dilakukan semenjak Kristen menjadi agama umum dalam masyarakat. Dan rupanya dari segi teologi, perubahan ini tidak menjadi masalah. Tetapi kepercayaan-kepercayaan dan upacara pribumi lainnya serta mitologi yang menurut persepsi emic bukan masalah, bagi teologi Kristen merupakan ajaran-ajaran yang salah. Inilah yang merupakan masalah bagi Gereja di Minahasa, walaupun secara emic, sinketisme adalah penyesuaian yang tidak mengandung masalah. Jadi persepsi masalah perilaku agama pada orang Minahasa tergantung pada orientasi penilaian apa yang dipakai seseorang.[8]
[1] Journal
“Acta Diurna” Volume III. No.2. Tahun 2014. H. 3
[2] Jurnal
ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: ‘Rebuilding Indonesia, a Nation of “Unity in
Diversity”: Towards a Multicultural Society’, Kampus Universitas Udayana,
Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002. H. 59
[3] Jurnal
KEBUDAYAAN MINAHASA: KAJIAN ETNOLINGUISTIK TENTANG KONSTRUK NILAI
BUDAYA LOKAL MENGHADAPI
PERSAINGAN GLOBAL. INTERLINGUA Vol 4, April 2010.h.45
[4] Jurnal KEBUDAYAAN MINAHASA: KAJIAN ETNOLINGUISTIK TENTANG KONSTRUK NILAI
BUDAYA LOKAL MENGHADAPI
PERSAINGAN GLOBAL. INTERLINGUA Vol 4, April 2010.h.76-77
[7] Jurnal
ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: ‘Rebuilding Indonesia, a Nation of “Unity in
Diversity”: Towards a Multicultural Society’, Kampus Universitas Udayana,
Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.h. 67-68
[8] Journal
“Acta Diurna” Volume III. No.2. Tahun 2014.h. 9
Komentar
Posting Komentar