Suku Sumbawa


A. Sistem Religi & Letak Geografi

     Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara, dan menhir mengindikasikan bahwa tau Samawa purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa Kebudayaan Tau Samawa telah berkembang jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi sebelum masuknya kebudayaan Hindu-Budha, hingga paradaban Islam saat ini. Sistem kepercayaan itu misalnya teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat yang masih mempercayai daya magis dan keterlibatan mkhluk halus dalam kehidupan manusia (alam pikiran mitis).[1] 

(Sumber:Google/http/;Wikipedia.com)

Sebagian besar orang Sumbawa masih percaya pada makhluk-makhluk halus yang sering mendatangkan musibah berupa bencana dan penyakit pada manusia. Mereka percaya adanya baki atau makhluk halus yang tinggal di hutan dan di pohon-pohon besar, terutama beringin, kono atau makhluk halus yang sering berkeliaran di tempat-tempat sepi di siang hari. Masyarakat Sumbawa juga mengenal leak atau orang jahat yang bisa berubah menjadi binatang dan gemar makan ketuban serta minum darah bayi yang baru dilahirkan. Kemungkinan hal ini merupakan warisan kebudayaan Hindu yang berkembang di Pulau Bali dan Lombok. Untuk menangkal gangguan makhlus halus yang jahat dan berbagai bentuk sihir seperti burak, sekancing, lome-lome, pedang pekir, dan sebagainya sebagian tau Samawa sering memakai jimat yang dikalungkan di leher maupun ditempelkan pada ikat pinggangnya. Mereka juga percaya dan mendatangi sandro. Selain kepercayaan kepada orang-orang tertentu yang punya kekuatan gaib dan memilki kemampuan meramal nasib, tau Samawa juga mempercayai suara cecak dapat membenarkan perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan maupun sebaliknya, bahkan sangat percaya bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta berarti pertanda sial baginya. Agama Hindu-Budha Diperkirakan telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh. Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada di Pulau Lombok, kira-kira antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa memerdekakan diri. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16, Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam. Dalam kehidupan beragama atau hukum pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura.[2]

B. Asal Usul & Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan
Suku Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa Besar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan  Timor dengan ibukota di Sumbawabesar. Sistem pemerintahan afdeeling kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling yang terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi menjadi beberapa lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan beberapa onderdistrict digabung menjadi  satu district setingkat kabupaten saat ini. Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi onderdistrict yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah kademungan. Wilayah kademungan sekarang berubah menjadi wilayah kecamatan yang membawahi beberapa desa. Pada masa pemerintahan orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh seorang gabung yang dibantu oleh beberapa tau loka karang sebagai penasihat yang berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Gabung juga dibantu oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan pertanian, dan juga dibantu oleh seorang mandur yang bertindak sebagai penghubung antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan desa. Pola perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau dukun. Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang, demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampungkampung di daerah pedesaan.[3]

                                                  (Sumber:Google//Detik.com)

Sekarang organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah desa atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang membawahi beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang tergabung dalam rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga. Sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A). Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu, kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi. Untuk golongan terakhir ini telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad Kaharuiddin III tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa.[4].

C. Sistem Pengetahuan
Masyarakat Samawa memiliki sistem pengetahuan yang turun temurun. Untuk obat - obat tradisional, yang mulanya dari Sanro ( dukun ) misalnya : obat batuk, yaitu air jeruk nipis dicampur kapur kemudian dioles pada leher, luka bakar, dioles madu, luka baru diobat dengan serbuk kopi, sarang laba - laba yang besar, getah jarak ; sakit perut diobati dengan mengunyah daun jambu muda yang dicampur sedikit garam dll. Kalau akan memulai turun sawah, petani cukup melihat arah dan letak bintang renggala (bintang bajak). Kalau akan melaut atau menelayan dengan melihat warna demi warna daripada langit di dalam waktu malam hari.
Dimasyarakat tradisional ada macam - macam upacara seperti : upacara minta hujan. Masyarakat Samawa mengenal adanya jimat sebagai penolak bala. Pemakaiannya bisa dikalung, diikatkan dipenggang.
Kepercayaan ada sihir pada masyarakat tradisional masih ada, seperti adanya yang disebut loma – lome, bura, pedang pekir dan sebagainya Meramal ( ramuka ) merupakan kebiasaan tradisional masyarakat samawa. Meramal nasib, menanyakan hari baik, menemukan barang yang hilang dsb. Mereka juga mengenal apa yang disebut cuca' dengan harapan agar selamat dan tercapai tujuannya. Membahas tentang karya sastra Sumbawa selalu dikaitkan dengan kehadiran aksara Kaganga atau Setera Jontal. Satera dalam basa Samawa berarti tulisan, sedang jontal berati lontar yang menurut PJ. Zoetmulder kata lontar berasal dari metatesis ron tar atau pohon tar; kata ini diperkirakan berasal dari bahasa Jawa. Lebih jauh PJ. Zoetmulder menulis bahwa orang-orang Bali dan Jawa dulu menggunakan pengutik atau pengrupak yaitu sebilah pisau kecil sebagai alat tulis yang dipakai dalam penulisan daun lontar. Alat berupa pisau kecil untuk menulis di daun lontar ini dalam basa Samawa dinamakan pangat yang kemungkinan berasal dari kata pengot dalam bahasa Jawa. Aksara Kaganga yang pernah berkembang di Sumbawa dan sekarang mulai diajarkan lagi di sekolah-sekolah pada tingkat dasar merupakan aksara yang diadopsi dan diadaptasi dari aksara Lontara yang berkembang di Bugis-Makassar. Aksara Lontara ini dulunya mendapat pengaruh dari aksara Pallawa yang mulai digunakan untuk menulis sejumlah prasasti di Indonesia semenjak pertengahan abad ke-8 Masehi, namun kemudian aksara Lontara ini disederhanakan oleh seorang syahbandar dari Kerajaan Goa-Makassar bernama Daeng Pamatte pada abad ke-16 Masehi.
Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17 Masehi. Aksara ini setelah diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, kemudian dikenal dengan nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara Lontara dalam aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan cara menuliskannya yang sama seperti cara mengerjakan aksara Lontara dari sumber asalnya yakni Bugis-Makassar. Para sastrawan sumbawa dulu mengabadikan karya – karyanya dengan menuliskanya di daun lontar yang telah dikuningkan dengan kunyit, lebar daun lontar ini sekitar 2 cm dengan panjang 12 cm cara menuliskan nya dengan menggores daun lontar tersebut menggunakan ujung pangat atau sejenis pisau kecil. Tulisan – tulisan ini kemudian dikumpulkan dalam sebuah bumung. Karya sastra sebagai sebuah proses kreativitas merupakan kristalisasi dari segala segi kehidupan yang melingkupi seorang pujangga, sehingga selain seorang pujangga dituntut untuk memiliki kemampuan menanggapi sebuah realitas kehidupan di sekelilingnya, harus pula mampu berkomunikasi dengan realitas tersebut untuk membangun kembali realitas lewat kreativitas yang dimilikinya, sehingga karya-karya ciptaannya dapat memberikan gambaran yang ideal tentang realitas yang dicermatinya, serta berperan sebagai media komunikasi budaya antara masyarakat dan pujangga sebagai pencipta karya-karya sastra tersebut. Dengan menyimak hasil-hasil karya sastra Sumbawa, maka dapat diambil beberapa konsep dasar tentang nila-nilai yang dikandung di dalamnya, bagaimana masyarakat Sumbawa memandang realitas kehidupan di sekitarnya, kemudian merumuskannya ke dalam konsep yang diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Karya-karya sastra Sumbawa kebanyakan menggenggam amanat berupa nasihat yang bertolak pada ajaran pendidikan dan keimanan yang ditopang oleh kuatnya adat-istiadat, seperti yang tertuang dalam bentuk lawas (puisi), ama (peribahasa), panan (teka-teki), dan tuter (dongeng) yang sangat kental dengan pesan moralitas, agama, dan etika pergaulan hidup. Pada umumnya karya-karya sastra Sumbawa ini cukup sulit untuk digali, diinventarisasi, dan dicatat, maupun dicari naskah-naskahnya, karena proses pewarisannya dilakukan dengan cara lisan serta turun-temurun dari para generasi pendahulu ke anak keturunanya melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan melewati proses budaya yang rumit, namun demikian dapat dipahami bahwa lawas merupakan akar atau induk dari segala bentuk kesenian dan tradisi Sumbawa, baik seni musik, tari, maupun adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat seperti tampak dalam sekeco, tari mata rame, permainan rakyat barapan kebo dan barapan ayam, serta tradisi daur kehidupan semisal nyorong dan barodak.[5]
D. Bahasa
Suku Sumbawa adalah campuran kelompok etnik-etnik pendatang yang telah membaur dengan kelompok etnik pendatang yang lebih dahulu mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, sehingga melahirkan kesadaran akan identitas budaya sendiri yang dicirikan dengan kehadiran bahasa Sumbawa atau basa Samawa sebagai bahasa persatuan antaretnik yang mendiami sebagian pulau ini. Mahsun (2002) dalam Prospek Pemekaran Kabupaten Sumbawa mencatat bahwa sebelum bahasa Sumbawa purba (prabahasa Sumbawa) pecah ke dalam empat dialek yang ada sekarang ini, terlebih dahulu pecah ke dalam dua dialek, yaitu pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo dan dialek Sumbawabesar atau cikal bakalnya disebut dialek Seran. Kemudian variasi ini berkembang seiring perjalanan waktu hingga memasuki fase historis, pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo pecah lagi menjadi tiga dialek yang berdiri sendiri. Dalam bahasa Sumbawa saat ini dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen yang dulunya dialek Selesek, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar.
Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung mempengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawabesar yang cikal bakalnya merupakan dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam bahasa Sumbawa. Dialek Samawa ini lebih lanjut disebut basa Samawa. Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.
E. Kesenian & Sistem Mata Pencaharian
Masyarakat Suku Sumbawa atau Tau Samawa membuat barang-barang kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas, menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang. Seni kelingking adalah istilah seni rupa daerah Samawa. Artinya, membuat ornamen atau hiasan pada suatu benda tertentu dengan menggunakan tekhnik menghias. Hasilnya, berupa langit kelingking, kre alang, tabola, peti kayu berhias, gerbah dan sebagainya. Bentuk seni ini sudah berlangsung lama. Mendapat pengaruh hindu dengan motif hias tumbuhan dan selanjutnya pengaruh islam. Berbagai bentuk corak hiasan kelingking yang dikenal di tanah samawa adalah : lonto engal ( ragam sulur ), kemang satange ( ragam bunga ), pohon hayat, pucuk rebung , gelambok , slimpat ( jalinan), naga burung, manusia , binatang ( sapi, kuda, kerbau dan sebagainya ).

(Sumber:Google//http/Indonesiauna.co.id)

Sumber penghidupan yang utama bagi tau Samawa umumnya adalah bercocok tanam di sawah dengan menggunakan peralatan tradisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian. Untuk menggarap ladangnya atau merau cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Cara mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun bagitu mudah, tau Samawa dapat menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage, ketimus, dan bungur yang sudah sama-sama dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi tau Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang (berburu) dan mencari lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa. Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbung, dapat pula memanfaatkan para atau  loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya. Menjadi nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi tau Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap ikan di laut. Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau  tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian tau Samawa yang tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil-hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional. Masyarakat Sumbawa beternak kuda, sapi, dan kerbau. Tau Samawa tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusaha memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya. Pekerjaan menjadi pedagang merupakan pekerjaan pilihan bagi sebagian kecil orang Sumbawa yang pada awalnya dilakukan oleh keturunan etnik Arab, Cina, orang-orang Selayar, dan sebagian pendatang baru dari Jawa, demikian halnya pekerjaan membuat barang-barang kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas, menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang. Pekerjaan yang paling membanggakan bagi tau Samawa adalah menjadi pegawai negeri sipil atau karyawan perusahaan.[6]
F.    Alat Musik & Tempat tinggal
Kehidupan seni tradisional mendapat tempat di hati masyarakat Tana Samawa, terutama yang berdomisili di pedesaan. Musik orkestra samawa yang disebut Gong Genang sangat populer di masyarakat. Gong Genang terdiri dari sebuah gong, dua buah genang ( gendang ) dan sebuah serune. Serune dalam orkestra Gong genang berfungsi sebagai pembawa melodi Sejumlah musik daerah yang dihayati masyarakat pendukungnya antara lain : Ratib ( Rabana Ode dan Rabana Rea /Kebo ), Bagenang, Sakeco, Langko, Saketa, Gandang, Bagesong dsb. Dari lirik - lirik lawas telah diangkat kepermukaan Kemudian sejumlah lagu yang berirama daerah yang dengan iringan instrumen alat - alat musik modern. Lagu khas daerah Samawa sudah banyak dilagukan dalam berbagai kesempatan upacara dan acara perhelatan perkawinan. Dalam bentuk kaset ataupun kepingan CD dan VCD. Beberapa peralatan musik tradisional Samawa adalah : Serune, yaitu alat musik tiup. Alat ini termasuk alat musik golongan serofon yang berlidah, serune dibuat dari dua bahan pokok yaitu bulu ( jenis bambu kecil ) dan daun lontar. Lolo dan anak lolo dibuat dari bulu, sedangkan seremung ode dan seremung rea dibuat dari daun lontar sebagaialat musik yang sakral, karena itu dapat dimainkan oleh siapa saja yang berminat. Serune dapat memainkan lagu apa saja asal sesuai dengan nadanya. Kebanyakan lagu - lagu yang dibawakan adalah lawas ( syair Samawa ) yang kebanyakan tidak dikenal siapa penciptanya.

(Sumber:Google//Transmedia.co.id//)

Pada kehidupan masyarakat Sumbawa tradisional, beberapa keluarga inti dapat tinggal dalam satu rumah panggung, yaitu rumah yang didirikan di atas tiang kayu yang tingginya berkisar antara 1,5 hingga 2 meter dengan tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk seperti perahu yang terbuat dari santek atau bambu yang dipotongpotong (kini banyak diganti dengan genting). Pada bagian depan atau peladang dan bagian belakang dipasang anak tangga dalam hitungan ganjil antara 7, 9, 11 bergantung keperluannya. Adapun tata ruang bagian dalam umumnya merupakan 3 perpaduan antara bentuk rumah adat Bugis-Makassar yang dikombinasi dengan arsitektur rumah orang Melayu. Untuk rumah-rumah panggung di pedesaan lebih disukai menghadap ke timur atau matahari terbit yang melambangkan kekuatan, ketabahan, dan harapan limpahan rezeki.[7]

_________________________________________________________________________________



[1] dinamika perkembangan sistem kepercayaan lokal di indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. H.21
[2] Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan | Vol. 4, No. 2, September 2016, hal 95-101
[3] dinamika perkembangan sistem kepercayaan lokal di indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. H.34
[4] Zulyan Hidayah. Ensiklopedia Suku bangsa di Indonesia. Jakarta : Pustaka obor indonesia. 2015. H. 42
[5] "Hamparan syurga itu bernama lombok-sumbawa" www.Skyscrapercity.com
[6] Zulyan Hidayah. Ensiklopedia Suku bangsa di Indonesia. Jakarta : Pustaka obor indonesia. 2015. H. 57-60
[7] Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan | Vol. 4, No. 2, September 2016, hal 112-114

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESUME " Kepercayaan Lokal Suku Naulu"

Video Suku Sumbawa