Suku Bajo
SUKU BAJO
Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia,
dengan perairan laut teritorial (3,2 juta km2) terluas di dunia (belum termasuk
2,9 juta km2 perairan zona ekonomi eksklusif, terluas ke-12 di dunia), dan
95.108 km garis pantai yang terpanjang kelima di dunia. Perairan laut Indonesia
memiliki posisi geografis strategis sebagai jalur komersial dan militer dan
merupakan lintasan jalur pelayaran penghubung Samudra Pasifik dengan Samudra
Hindia dan Benua Asia dengan Benua Australia.
(Sumber: Google/ Liputan6.com)
Indonesia memiliki luas laut 75 persen dari luas daratan.Indonesia memiliki banyak pulau yang tersebar di seluruh nusantara.Berdasarkan data terakhir tahun 2004 yang dirilis oleh Departemen Dalam Negeri (sekarang Kementerian Dalam Negeri), jumlah pulau di indonesia adalah sebanyak 17.504 buah (menurut sumber lain sebanyak 17.508 buah). Sebanyak 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 pulau belum memiliki nama.Dari,pulau-pulau tersebut terdapat berbagai macam suku.Berdasarkan data dari Sensus Penduduk terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik indonesia, diketahui jumlah suku di Indonesia yang berhasil terdata sebanyak 1.128 suku bangsa. Namun, jumlah tersebut bisa saja kurang dari jumlah yang sebenarnya, hal ini dikarenakan luas wilayah Indonesia yang begitu luas dan terdapat beberapa wilayah pedalaman yang masih sulit dijangkau.Salah satunya adalah Suku bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.[1]
A.
Letak Geografis
Suku Bajo tersebar di berbagai di daerah di Indonesia. Namun di
sini kita mengenal lebih dekat Suku Bajo yang berada di Taman Nasional
Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Suku Bajo sangat lekat sekali dengan
kehidupan laut. Bahkan ada pula yang tinggal di perahu dan hidup di laut lepas.
Di sini kita dapat melihat dan mencontoh kearifan Suku Bajo dalam menjaga
keseimbangan ekosistem laut. Dengan menempati wilayah Taman Nasional Kepulauan
Togean, maka kebutuhan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak Suku Bajo akan lebih
terjamin oleh pemerintah setempat.
(Sumber: Google/Wikipedia.com)
Suku Bajo adalah kelompok etnis di Asia
tenggara yang memiliki karakteristik kemaritiman yang sangat kuat. Wilayah
penyebaran mereka sangat luas mencakup Pantai Timur Sabah, Kepulauan Sulu,
Pantai Timur Kalimatan, Selat Makassar, Perairan Laut Sulawesi dan Maluku,
serta Perairan Laut Nusa Tenggara.
B. Asal-Usul
Suku Bajo
Pengelompokan Suku Bajo Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebutnya dirinya sebagai suku Same. Dan, mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai. Nama “bajo” sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut. Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai suku Bajo. Artinya, suku Perompak.Namun, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap di sama artikan sebagai suku Bajo. Namun, pemaknaan negatif tentang Suku Bajo menimbulkan polemik berkepanjangan. Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata “bajo”. Pada suku Bajo dikenal empat kelompok masyarakat menurut kebiasaannya bernelayan, yakni kelompok lilibu, kelompok papongka, kelompok sakai, dan kelompok lame. Kelompok lilibu adalah suku Bajo yang biasanya bernelayan di laut hanya satu atau dua hari. Mereka menggunakan perahu soppe yang dikendalikan dayung. Setelah mendapat ikan, mereka kembali ke darat, untuk menjual hasil tangkapan atau menikmatinya bersama keluarga. Kelompok papongka berada di laut bisa sepekan atau dua pekan. Mereka menggunakan jenis perahu yang sama besarnya dengan kelompok lilibu. Sekadar perahu soppe. Bila dirasa telah memperoleh hasil atau kehabisan air bersih, mereka akan menyinggahi pulau-pulau terdekat. Setelah menjual ikan-ikan tangkapan dan mendapat air bersih, mereka pun kembali ke laut. Begitu seterusnya. Bedanya dengan kelompok lilibu, mereka baru akan pulau ke rumahnya setelah seminggu atau dua minggu mencari nafkah. Pada saat kembali ke rumah, sang nelayan biasanya membawa uang dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Sehingga,mereka tidak perlu lagi membawa tangkapan ikan. Kelompok sakai memiliki kebiasaan mencari ikan yang lebih dasyat lagi. Mereka tidak jauh berbeda dengan kelompok papongka. Namun, wilayah kerjanya lebih luas. Bila kelompok papongka hitungannya seluas provinsi, maka kelompok sakai hitungannya antar provinsi. Katakanlah, antar pulau. Sehingga, waktu yang dibutuhkan pun lebih lama. Mereka bisa berada di “tempat kerja”nya itu selama sebulan atau dua bulan. Karena itu, perahu yang digunakan pun lebih besar dan saat ini umumnya telah bermesin. Kelompok terakhir, kelompok lame bisa dikategorikan nelayan-nelayan yang lebih berkelas. Mereka menggunakan perahu besar dengan awak yang besar dan mesin bertenaga besar. Karena, mereka memang bakal mengarungi laut lepas hingga menjangkau negara lain. Dan, mereka bisa berada di lahan nafkahnya itu hingga berbulan-bulan.[2]
(Sumber: Google/Http/.Antara.com)
Asal Usul Suku Bajo Suku Bajo dapat dikatakan sebagai salah satu
suku terasing di Indonesia yang umumnya bertempat tinggal di laut. Suku Bajo
merupakan suku laut yang berasal dari Johor Malaysia yang kemudian menyebar
hingga ke Sulawesi, NTT, Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau sekitar di
Indonesia. Bukti tersebut diperkuat dari segi budaya berpantun yang dimiliki
oleh suku Bajo. Selain itu, Imam Masjid pertama di Kota Kendari adalah ulama
dari etnis Bajo. Bisa jadi, suku Bajo dalam menyebarkan Islam ada kaitannya
dengan Syaikh Abdul Wahid, seorang ulama dari Arab yang sebelum ke Nusantara,
terlebih dahulu menyebarkan Islam di Johor Semenanjung Malaysia, dimana etnis
Bajo berasal. Versi lain menyatakan, mereka berasal dari Vietnam dan Philipina.
Hal tersebut didasarkan pada bahasa yang hampir mirip dengan masyarakat pesisir
yang ada di Philipina dan Vietnam. Seluruh etnik Bajo di pantai manapun berada,
mereka tetap menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Bajo. Di sisi lain
terdapat argumen yang menyatakan bahwa suku Bajo berasal dari daerah di selatan
Philipina dengan beranggapan dari kesamaan bahasa dari suku Bajo yang banyak
menyerupai bahasa Togolog Philipina. Selain itu terdapat kesamaan bahasa dari
suku Bajo yang berasal dari Vietnam maupun dari Indonesa dan Philipina sendiri.
Versi lain dari asal usul suku Bajo adalah bahwa suku Bajo merupakan campuran
dari Cina Selatan dan Kalimantan Timur. Versi ini, didasarkan pada mitos dan
cerita rakyat yang berkembang pada masyarakat Bajo. Suatu ketika di masa silam,
raja di Johor Malaysia kehilangan putrinya yang sedang bertamasya mengarungi
lautan Nusantara. Dikabarkan, putri raja tersebut tenggelam di lautan lepas.
Atas kejadian itu, Kerajaan Malaka memerintahkan seluruh prajuritnya untuk
mencari putri raja. Mereka tidak diperbolehkan kembali, sebelum berhasil
mendapatkan putri sang raja. Di sinilah dimulai sebuah perantauan tak berujung.
Karena tidak berhasil menemukan putri raja yang tenggelam, maka para prajurit
kerajaan Malaka memutuskan tidak kembali ke kerajaan dan berlayar kemana saja
mengikuti arah angin. Hal ini menjadi cikal bakal suku Bajo yang kemudian
tinggal di atas perahu dan berpindah-pindah dan menyebar hingga seluruh
nusantara. Selain versi suku Bajo di atas, terdapat banyak versi lain yang
memaparkan asal-usul dari suku bajo antara lain; 1. lontarak riolo peninggalan
kerajaan Bone menyebutkan bahwa suku Bajo berasal dari daerah di selatan
Afrika. Dalam lontarak tersebut terdapat banyak kata Bajo dan afrika sehingga
dikaitkan sebagai asal dari suku ini. 2.suku Bajo berasal dari prajurit Malaka
yang tidak menerima kehadiran Portugis di Malaka sehingga mereka menyebar ke
kawasan Timur Nusantara, membentuk komunitas suku Bajo.
C. Sosial & Tarian
Dalam masyarakat suku
bajo, terdapat beberapa jenis perkawinan, yakni :
1. Perkawinan
yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (Massuro)
Perkawinan jenis ini
berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat Suku Bajo yang bersifat umum, baik
dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa. Perbedaannya hanya dari tata
cara pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang dengan
upacara adat tertentu, sedangkan masyarakat awam berdasarkan kemampuan yang
dilaksanakan secara sederhana.
2. Perkawinan Silaiyang ( Kawin Lari)
Perkawian yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi kedua belah pihak melakukan mufakat untuk lari rumah penghulu atau kepala kampung untuk mendapat perlindungan dan selanjutnya diurus untuk dinikahkan. Dalam masyarakat Suku Bajo, peristiwa Silaiyang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan “pakayya” bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut “nggai ia” selalu berusaha untuk menegakkan harga diri atau “pakayya” dengan cara membunuh lelaki yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi.
Penghulu atau anggota
adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.Untuk maksud
tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan untuk
dimintai persetujuannya. Tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga
pihak perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan
(adipakaiya). Bahkan orang tua yang dipermalukan (dipakaiya) itu menganggap
anaknya yang dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai
anaknya. Apa bila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak
adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim. Akan tetapi
walaupun keduanya telah dinikahkan, hubungan antara keluarga laki-laki dan
perempuan tetap berbahaya. Oleh karena itu selama keduanya belum diterima
kembali untuk rujuk yang disebut “sipamapporah) (meminta maaf), maka laki-laki
yang membawa lari gadis tersebut harus tetap berhati-hati dan berupaya
menghindar untuk bertemu orang tua dan keluarga dari pihak perempuan.
3. Perkawinan Menurut Usia
Telah diketahui, bahwa
usia perkawinan diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
yaitu usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini
dimaksudkan agar kedua calon mempelai tersebut memiliki kematangan dalam
berumahtangga, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari suatu perkawinan yaitu
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dahulu, usia perkawinan tidak ada
pembatasan sehingga sering terjadi anak di bawah umur dinikahkan (nekke
ana’-ana’). Tetapi mereka berdua masih tetap tinggal di rumah orang tua
masing-masing. Dan nanti keduanya akil baliq (menanjak dewasa) barulah
dipertemukan untuk hidup sebagai suami isteri. Hal seperti ini masih berlaku
hingga akhir abad ke-19.
4. Perkawinan yang
Dilarang
Sejak dahulu adat yang
berlaku dalam masyarakat Suku Bajo melarang perkawinan antara dua orang
(laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat,
seperti :
·
Seorang pria dilarang
kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek) baik melalui ayah maupun
ibu.
·
Seorang pria dilarang
kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/cucu/cicit) termasuk keturunan
anak wanita.
·
Seorang pria dilarang
kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau ibu (saudara kandung / anak dari
saudara kandung).
·
Seorang pria dilarang
kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung ayah/saudara
kandung ibu/saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu).
5. Perkawinan Duduk
( Sitingkoloang )
Perkawinan ini terjadi apabila salah satu pihak, baik laki-laki atau pihak perempuan pergi kerumah orangtua laki-laki atau perempuan guna menyerahkan dirinya kepada keluarga laki-laki atau perempuan.Karena laki-laki atau perempuan sangat cinta sehingga dia memberanikan diri untuk menyampaikan kedatanganya bahwa dia sangat sayang.Untuk maksud ini dari pihak orangtua memberikan saran agar masing-masing pihak dapat meluangkan waktunya untuk musyawarah (sitummu).Perkawinan ini masih berlaku di Masyarakat Bajo.[3]
Umumnya tarian
tradisional masyarakat suku Bajo hampir sama dengan tarian suku
bugis,buton,mandar dan toraja.Ada dua tarian yang lumrah di kalangan Suku Bajo
yakni :
1. Tarian Manca
Tarian Manca adalah
salah satu tarian yang sangat populer dikalangan masyarakat Bajo.Tarian ini
dilakukan pada saat ada pesta pernikahan yang resmi (Massuro). Biasanya tarian
ini dibawakan oleh sepasang pamanca (tukang manca) terdiri dari dua orang yang
masing-masing saling membawa peddah (pedang). Tarian ini sudah merupakan turun
temurun dari nenek moyang mereka.Si pamanca sudah terlatih sejak kecil,sehingga
gerak badannya sangat lentur sesuai dengan irama sarroni/sulleh(seruling) dan
gandah (gendang).
2. Sile'
kampoh ( silat kampung )
Silat kampung merupakan tradisi adat istiadat suku bajo.Ini bersinambungan dengan manca artinya semua jurus-jurus yang didapat dari silat kampung diterapkan dalam manca.Silat kampung ini tidak sembarangan orang untuk mempelajarinya.Syaratnya harus sudah cukup umur.Untuk mempelajari silat ini dibutuhkan empat minggu ini sudah sempurna.Prinsipnya silat adalah jalan hidup yang meliputi berbagai aspek kehidupan seorang manusia.[4]
D. Mata Pencaharian Suku Bajo & Religi
Apa mata pencaharian
Suku Bajo? Ya, sumber utama mata pencaharian mereka adalah mencari ikan. Dengan
lautan yang menghampar luas di sekitar mereka, di sanalah tempat mereka mencari
nafkah. Yang dapat kamu pelajarai adalah, dalam kehidupan sehari-hari Suku Bajo
bekerja mencari ikan dengan cara-cara tradisional, yaitu:
- Memancing
- Menjaring
- Memanah
(Sumber: Google/Netdiatama.com)
Hasil tangkapan ikan ini akan dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau terdekat. Beberapa Suku Bajo sudah mengenal teknik budidaya produk laut seperti lobster, ikan kerapu, atau udang. Tempat budidaya yang disebut tambak terapung ini biasanya terletak tidak jauh dari pemukiman. Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo berpindah agama. Kerajaan Anak Agung Gedhe Agung yang menganut agama Hindu yang ketika itu berkuasa di pulau Lombok merasa eksistensinya terganggu, takut apabila banyak masyarakat Bajo memeluk Islam yang nantinya bisa dan mampu menggulingkan kekuasaan kerajaan.
Filsafat kehidupan suku
Bajo di Bayan menilai antara kebudayaan dan Agama Islam mempunyai korelasi
inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara kebudayaan dan Agama Islam, semua itu
disingkronisasi oleh peradaban.Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil
budidaya manusia baik cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan berwujud gagasan/ide,
perilaku/ aktivitas dan benda-benda. Sedangkan peradaban adalah bagian-bagian
dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah dan maju. Masyarakat suku Bajo
Bayan memiliki filosofi yang sering disebut dengan Wetu Telu. Makna dari
kata Wetu adalah Keluar, sedangkan Telu adalah Tiga. Jadi Wetu Telu adalah
Keluarnya tiga Filosofi kehidupan suku Bajo, yaitu Beranak (diperuntukkan
manusia, dan hewan mamalia), Bertelur (diperuntukkan unggas dan ikan) dan
Tumbuh (diperuntukkan tumbuh-tumbuhan). Wetu Telu juga mempunyai tiga fase
dari kehidupan makhluk hidup, yaitu fase pertama kelahiran, fase kedua adalah
kehidupan, fase ketiga adalah kematian. Ketiga fase ini memiliki pola hubungan
yang sama, dan setiap individu manusia memiliki perbedaan dinamika kehidupan
yang berbeda. Khususnya manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT
akan mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya selama hidup Dari
ketiga makna ini mempunyai arti bahwa manusia merupakan satu kesatuan dari
alam, yang tersirat dari filsafat kosmologi kehidupan dan budaya. Seperti
halnya masyarakat Jawa, suku Bajo juga mengenal adanya dewi padi. Jika orang
Jawa mengenal Dewi Sri sebagai dewi kesuburan (dewi padi), maka orang Bajo
mengenal dewi padi dengan sebutan Inak Sariti. Suku bajo hanya menanam
varietas padi lokal dari golongan padi bulu. Hal ini dikarenakan varietas
padi ini adalah varietas padi yang pertama kali ditanam di bangkat, sawah
orang Bayan pertama kali. Selain itu, masyarakat percaya bahwa jika tidak
menaman padi bulu, maka panen berikutnya akan gagal. Masyarakat setempat juga
lebih menyukai varietas ini dikarenakan varietas padi ini menghasilkan
nasi yang lebih pulen dan lebih enak.
Tradisi bertani di desa ini merupakan sebuah gambaran akan pentingnya menghargai makna dan nilai-nilai positif yang terkandung, untuk selalu dijaga dan dihormati tanpa berlebihan. Masyarakat desa hidup dan masih berpegang teguh pada aturan adat yang mengatur segala bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia maupun dengan makhluk yang lain serta lingkungan sekitar. Dan disisi lainnya sangat menghargai dan menjunjung tinggi atas nilai kehidupan. Demikianlah kearifan lokal yang dimiliki kampung adat Sasak. Sebagian kecil kearifan ini dapat kita refleksikan sebagai bentuk kekuatan bangsa kita.[5]
[1] Herman
Soesangobing. Perkembangan Suku Bajo. Di perbanyak Oleh PEMDA tingkat II Bone. h.6.
[2] Jurnal Perubahan
Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo (Suryanegara, dkk).Volume 04.No22. H. 68
[3] Agung
Bawantara. Khazanah Negeriku. H.50-54
[4] Jurnal
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo
(Suryanegara, dkk). H. 92
[5] Jurnal
Masyarakat & Budaya, Volume 15 No. 2 Tahun 2013. H. 235-237




Komentar
Posting Komentar