RESUME " Kepercayaan Lokal orang trunyan di Bali"
SUKU
TRUYAN BALI
Sejarah suku Trunyan
Suku
Trunyan mengakui dirinya sebagai orang Bali Turunan, karena mereka mempercayai
bahwa leluhur mereka "turun" dari langit ke bumi Trunyan. Jadi
nama Bali Turunan berarti orang Bali yang turun langsung dari langit ke tanah Bali.
Mereka menganggap diri mereka berbeda dengan orang Bali Hindu, yang mereka
panggil dengan sebutan Bali Suku, karena orang Bali Suku bukan penduduk asli
pulau Bali, melainkan pendatang dari pulau Jawa yang masuk ke pulau Bali dengan
suku(:kaki) atau berjalan kaki.
suku Trunyan mempunyai suatu mitologi yang mereka
jadikan sebagai “dongeng suci” mengenai asal usul penduduk Trunyan, yang
menceritakan bahwa leluhur wanita mereka adalah seorang Dewi dari Langit yang
diusir dari kahyangan, untuk turun ke suatu tempat di bumi yang kemudian
terkenal dengan nama desa Trunyan. Rahim Dewi ini kemudian dibuahi secara ajaib
oleh matahari (Sang Surya) sehingga mengandung, dan setelah tiba waktunya Sang
Dewi melahirkan sepasang anak kembar, seorang diantaranya adalah anak banci dan
seorang lagi anak perempuan. Setelah kejadian ini Sang Dewi kemudian kembali ke
Kahyangan. Putri dewi tersebut kemudian kawin dengan seorang putra Raja Jawa
(Dalem Solo), yang datang ke Trunyan karena tertarik oleh bau-bauan harum yang
dipancarkan oleh sebatang taru (pohon) menyan yang tumbuh di Trunyan. Dari
kedua insan dan dewi ini, kemadian diturunkan penduduk Trunyan yang sekarang
ini. Kejadian mengenai adanya seorang Dewi turun ke bumi ini, yaitu turun
hyang, dan adanya pohon taro menyan yang memancarkan bau-bauan wangi sehingga
dapat menarik kedatangan putra Dalem Solo,
menimbulkan dua macam keterangan mengenai asal usul nama Trunyan.
Keterangan yang per-tama mengatakan Trunyan berasal dari kata-kata turun dan
hyang yang barasimilasi menjadi sata kata; dan yang kedua mengatakan berasal
dari kata-kata taro dan menyan. Putra Dalem Solo dengan istrinya (putri Dewi)
yang merupakan cakal bakal desa Trunyan, kemudian setelah meninggal diangkat
menjadi Dewa Tertinggi orang Trunyan dengan gelar Ratu Sakti Pancering Jagat
dan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar.[1]
TRADISI
MEPASAH
Tradisi Mepasah merupakan peruwjudan syukur
kepada Ida Sang Hyang WidhiWasa. Tradisi Mepasah yang
dilaksanakan di Desa Trunyan, Kintamani Bangli merupakan uapcara yang didasari
oleh rasa bakti umat Hindu di Trunyan untuk memohon anugrah kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi. Pelaksanaan upacara ini pada dasarnya dilatar belakangi
oleh rasa bakti dan cinta kasih masyarakat Desa Trunyan kepada leluhurnya yang
telah meninggalkan bermacam-macam kebudayaan terutama pelestarian lingkungan hidup
serta menjaga keharmonisan kehidupan manusia melalui upacara Mepasah (Manusa
Yadnya).
Adapun Latar belakang masyarakat Desa Trunyan
melakukan tradisi mepasah dapat dilihat dari beberapa :
1. Faktor
Historis Kemunculan tradisi Mepasah berawal dari bauharum yang berasal
dari desa Trunyan yang tercium sampai ke puri (keraton) Dalem Solo.Bau harum
yang luar biasa ini telah menarik minat emapat orang anak Dalem Solo
untukbersama-sama pergi mencari sumbernya. Dari empat anak Dalem Solo itu, tiga
yang lebih tuausianya adalah laki-laki, sedangkan yang termuda adalah seorang
wanita. Dalampengembaraan tersebut, akhirnya mereka tiba di pulau Bali. Setelah
tiba di antara batas pulauBali sebelah timur, yaitu di antara Desa-Desa
culik-Karangasem, dan tepi, yang terletak diperbatasan Kabupaten karangasem dan
Buleleng, keempat anak dapat mencium bau itu lebihkeras. Bau harum ini makin
tajam sewaktu tiba di Daerah Btur, setiba di kaki selatan gunungBatur, anak
Dalem Solo yang perempuan berkeputusan untuk berdiam di tempat itu, yaitu ditempat
pura Batur sekarang. Gelar putri tersebut setelah menjadi dewi adalah Ratu Ayu
Mas Maketeg. Ketiga saudara laki-lakinya melanjutkan perjalanan menyusur
pinggir danau Batur,dan ketika tiba di suatu tempat yang datar di sebelah
baratnya danau, terdengar oleh merekasuara burung. Maka sejak itu tempat itu
bernama Kedisa,burung dalam bahasa Bali adalahkedis. Waktu mendengar
suara itu, karena girangnya, putra Dalem Solo berteriak. Hal inimembuat
kakaknya yang tertua kurang senang, sehingga menginginkan supaya adiknya
untukselanjutnya tinggal di tempat itu, dan tida lagi ikut pengembaraan mereka.Setelah
meninggalkan adik mereka, kedua putra Dalem Solo yang selebihnya,
terusmenyusuri tepi Danau Batur sebelah timur, dan tiba di suatu dataran lain
dimana merekamenemukan dua orang wanita, yang satu sedang mencari kutu di atas
kepala yang lain.Karena amat gembira melihat manusia, putra Dalem Solo yang ke
dua lalu menyapa ke duawanita tersebut. Perbuatan adiknya ini menimbulkan
ketidaksenangan pada hati kakaknya.Segera adiknya diperintahkan agar tidak lagi
mengikutinya dalam usaha mencari sumber bauharum, melainkan tinggal untuk
selanjutnya di tempat itu saja. Si adik menolak dengan keras, sehingga membuat
kakaknya naik pitam dan menyepak adiknya keras-keras, sehingga adikini jatuh melingkih
(terlungkup). Dalam keadaan ini, ia ditinggalkan oleh kakaknya, dankemudian
menjadi kepala Daerah di sana. Sampai kini di daerah itu masih terdapat
sebuahpatung Betara dari batu, yang berada dalam sikap melingkuh. dari
kata melingkuh inikemudian Desa tersebut mendapat nama Abang Dukuh,
karena menurut etimologi rakyat,Dukuh berasal dari kata melingkuh, dan
di sebut abang, karena desa itu merupakan bagiandari desa Abang.
Setelah meninggalkan adik-adiknya di desa-desa
tersebut, putra sulung Dalem Solo
melanjutkan
perjalanannya ke utara sambil kembali menyusuri pinggir Danau Batur yang
curam
di sebelah timur. Akhirnya ia tiba di suatu dataran lagi, dimana di temukan
seorang
dewi
yang teramat mnggiurkan hati mudanya. Dewi itu sedan berada seorang diri di
bawah
pohon
Taru Menyan, sumber dari bau harum yang dicarinya itu. Perasaan birahi
mudanya
segera
bangkit, dan di luar kekuasaannya lagi Sang Dewi segera disanggamainya. Setelah
selesai, si pemuda petulang ini, pergi menghadap kakak Sang Dewi untuk melamar
adiknya.
Permohonannya dikabulkan dengan syarat ia harus
dijadikan pancer (Pasak) dari jagat (Dunia) mereka, yaitu dalam
arti menjadi pemimpin Desa Trunyan. Syarat ini sudah tentu disanggupi putra
Dalem Solo, dan pengesahan perkawinan terjadilah. Putra Dalem Solo ini,
kemudian bergelar Ratu Sakti Pancering Jagat. Dan Dewi tersebut bergelar Ratu
Ayu Pingit Dalem Dasar. Ia adalah Dewi Danu (Danau), karena bersama
putra pertamanya hasil perkawinan dengan Ratu Sakti Pancering Jagat, yang
bernama Ratu Gede Dalem Dasar, mereka menguasai Danau Batur. Penduduk Trunyan
dari kasta Bnjar Jaba adalah keturunan mereka.
Setelah perkawinan ini, tempat yang mereka diami
berangsur-angsur berkembang menjadisuatu kerajaan kecil dengan Ratu Sakti
Pancering Jagat sebagai Rajanya. Kemudian karena kawatir kerajaan mereka ini
akan diserbu orang luar yang terpesona oleh bau harum yang dikeluarkan pohon
Menyan, maka Ratu Sakti Pancering Jgat memerintah untuk menghilangkan bau harus
tersebut. Caranya adalah dengan jalan tidak lagi memperkenankan Jenazah-Jenazah
orang Trunyan dikebumikan,melainkan dibiarkan membusuk di bawah udara terbuka.
Itulah sebabnya, mengapa sejak itu desa Trunyan tidak lagi mengeluarkan bau harum
yang mempesonakan, tetapi sebaliknya jenazah-jenazah penduduk yang di
biarkanmembusuk di udara terbuka tidak mengeluarkan bau busuk.
2. Faktor Keyakinan atau kepercayaan, pelaksanaan
upacara keagamaan khususnya dalam upacara mepasah yang didukung dengan
sarana upakara/sesajen/banten. Sesajen tersebut meyakinkan bahwa
tradisi mepasah memiliki suatu nilai religius yang diyakini oleh masyarakat
di DesaTrunyan. Selain itu hubungan tradisi mepasah juga erat dengan
konsep Tri Hita Karana yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan
(alam), antara manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Sehingga masyarakat di Desa Trunyan melakukan tradisi mepasahdisebabkan
oleh adanya suatu kepercayaan. Tradisi mepasah yang dilaksanakan
merupakan wujud nyata dari aktivitas-aktivitas keagamaan yang terealisasi lewat
pelaksanaan yadnyaatau korban suci yang dilakukan dengan tulus ikhlas yang
didalamnya terdiri dari sarana upakara/banten/sesajen yang lebih banyak
berbentuk material :
3. Faktor Upacara Ritual, Secara historis
masyarakat Desa Trunyan memaknai suatu upacara sebagai bentuk sebuah Yadnya,
dimana Yadnya merupakan wujud dari rasa terimakasih kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dengan bentuk persembahan dan
pengorbanan yang tulus iklas yang timbul dari hati yang suci dengan maksud yang
mulia dan luhur. Begitu halnya masyarakat Desa Trunyan dengan melaksanakan ritual
Mepasah dan juga merupakan bentuk penghormatan kepada nenek moyang,
dalam upacara ritual ini diharapkan jenazah benarbenar dalam keadaan yang sudah
di tentukan dalam proses mepasah, pada saat meninggal tidak memikiki
cacat pisik atau meninggal karena di bunuh. Ritual mempunyai fungsi dan peranan
tersendiri bagi masyarakat yang bersangkutan.[2]
[1]James
Danandjaja, Kebudayaan petani desa
Trunyan di Bali, Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=96074&lokasi=lokal
[2]I Wayan Dedi
Pranata, Tradisi Mepasah di Setra Wayah Desa
Trunyan, Kintamani, Bangli dan Pemanfaatannya Sebagai Sumber Pembelajaran
Sejarah Peminatan di SMA Berbasis Kurikulum 2013, Artikel.
Komentar
Posting Komentar