Kepercayaan tradisional Orang batak
MAKALAH
“ Kepercayaan tradisional Orang batak ”
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama-agama Lokal Semester IV
Dosen pengampu :
Disusun Oleh:
1. M. Izzul Islam Annajmi (11160321000052)
2. Ahmad Nur Ajim (11160321000047)
3. Rama Ernanto (11160321000063)
JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang
kaya akan suku. Salah satu dari suku yang banyak itu ialah suku Batak, yang
pada mulanya berdiam di pinggiran danau Toba, Sumatra utara, Indonesia. Suku
ini dikenal memiliki sejumlah kebudayaan yang sejajar dengan kebudayaan suku
bangsa yang lain. Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke
tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah
‘dewa-dewa’. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada
arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati
dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau
dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan). Orang Batak percaya
kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka
kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur
akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada
keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak
di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.
B.
Rumusan Masalah
1. Mitologi
batak dan jenjang kehidupan manusia zaman Keberhalaan ?
2. Bagaimana
Asal usul dan perkembangan kepercayaan parmalim ?
3. Bagaimana Kepercayaan parmalim dan ajaran
– ajarannya ?
4. Bagaimana Upacara Keagamaan dalam
Kepercayaan Parmalim ?
5. Interaksi Kepercayaan orang batak dengan
agama-agama lain ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mitologi batak dan jenjang kehidupan manusia zaman Keberhalaan.
2. Mengetahui Asal usul dan perkembangan
kepercayaan parmalim.
3. Mengetahui Kepercayaan parmalim dan
ajaran – ajarannya.
4.
Mengetahui Upacara Keagamaan
dalam Kepercayaan Parmalim.
5. Interaksi Kepercayaan orang batak dengan
agama-agama lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mitologi batak dan jenjang kehidupan
manusia zaman Keberhalaan
Mitologi batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang Batak. agama Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak kepercayaan Batak tradisional terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan Batak. Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen kepercayaan seperti asal-usul dunia, mitos penciptaan, keberadaan jiwa tetap ada meskipun orang telah meninggal dan sebagainya. Orang Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang tinggal di provinsi Sumatera Utara. Orang Batak tinggal di dataran tinggi Bukit Barisan sekitar danau Toba. Pada tahun 1991 jumlah orang Batak diperkirakan mencapai tiga juta orang. Pada saat itu penduduk Indonesia adalah 180.000.000 orang. Dengan demikian, Batak merupakan suku terbesar keempat setelah orang Jawa, Sunda dan Bali.
Suku Batak
merupakan salah satu suku besar di Indonesia. Suku Batak merupakan bagian dari
enam sub suku yakni Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak,
Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Keenam suku ini menempati daerah induk
masing-masing di daratan provinsi Sumatra utara. Batak adalah sebuah suku yang
kaya akan mitoss baik tentang debata, dewa-dewa maupun tentang penciptaan bumi.
Semua mitos itu sejak dahulu diceritakan
dari mulut ke mulut. Mitoa ittu dikemas dalam sebuah turi-turian ataauu cerita
dongeng.[1]
B. Asal usul dan perkembangan kepercayaan parmalim
Kepercayaan Batak Sebelum agama Islam
dan Kristen dan datang telah mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang
dinamakan Tuhan Debata Mulajadi Nabolon. Kepercayaan yang demikian diperkirakan
telah berlangsung lama yakni sejak dari Siraja Batak. Tetapi, meskipun
kepeercayaan ketuhanan telah tumbuh begitu lama dalam masyarakat Batak namun
kepercayaan belumlah dinamakan sebagai sebuah agama seperti nama agama Malim
yang ada sekarang ini. Walaupun pada masa itu masyarakat Batak dapat dikatakan
tidak beragama (pagan), namun seluruh kehidupan pribadi dan sosial orang Batak
telah diresapi oleh konsep keagamaan. [3]
Kepercayaan asli orang batak juga
disebut ugamo malim Istilah
Parmalim merujuk kepada penganut agama Malim. Agama Malim atau
Ugamo Malim adalah bentuk modern agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak
memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul
sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin guru mereka adalah Guru Somalaing
Pardede. namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik dan juga
pengaruh agama Islam. Dewa tertinggi dalam kepercayaan Malim adalah “Debata
Mulajadi Na Bolon” sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam
semesta yang di sembah oleh “Umat Ugamo Malim”. Agama Malim terutama dianut
oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatera Utara. Sejak dahulu kala terdapat
beberapa kelompok Parmalim namun kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang
berpusat di Huta Tinggi, kecamatan Lagu Boti, kabupaten Toba
Samosir. Awalnya Parmalim adalah gerakan spiritual untuk
mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam disebabkan
agama baru yang dibawah oleh Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak
menjadi gerakan politik atau “Parhudamdam” yang menyatukan orang Batak
menentang Belanda. Gerakan ini muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun
sebelum kematian Sisingamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing
Pardede.
Sebelum pengaruuh pardede datang sistem religi yang dianggap tertua di batak
adalah ajaran agama raja atau permalim.[4]
Parmalim secara antropologis disebut
sebagai agama yang diturunkan oleh Tuhan (Debata Mulajadi Nabolon) khusus
kepada suku Batak. Debata Mulajadi Nabolon adalah pencipta, pemilik dan
penguasa semesta alam. Salah seorang yang menjadi utusan Debata Mula Jadi Nabolon
adalah Sisingamangaraja XII si Raja Batak. Sepeninggal Raja Sisingamangaraja
XII, Parmalim pecah menjadi beberapa aliran, yaitu Aliran Raja Ungkap
Naipos-pos berpusat di Huta Tinggi Kecamatan Laguboti Tapanuli Utara; Aliran
Parmalim Baringin berpusat di Pangururan Kabupaten Samosir; Aliran Raja Omat
Manurung berpusat di Sigaol Kecamatan Porsea Tapanuli Utara. Perbedaan aliran
ini sekaligus melahirkan berbagai perbedaan konsep ketuhanan, cara beribadat,
penerima kitab suci dan sebagainya. Adapun Parmalim Raja Ungkap Naipospos
ternyata dianut oleh komunitas Batak di berbagai tempat di Sumatra Utara,
seperti; Tapanuli Utara, Simalungun, Dairi, Karo, Asahan, Kota Madya Medan,
Tangerang dan Jakarta.[5]
C. Kepercayaan parmalim dan ajaran - ajarannya
1.
Kepercayaan Parmalim
A). Kepercayaan
kepada Si Pemilik Kearajaan Malim di Banua Ginjang
Agama Malim
diturunkan kepada suku bangsa Batak yang dipercayai bersumber dari Debata
Mulajadi Nabolon. Agama ini diajarakan kepada manusia melaui perantara yakni para malim Debata
(utusan atau nabi) yang berdiam di Banua Tonga, dari sanalah semua asal ajaran
itu ada. Menurut agama Malim, sebelum manusia diciptakan Debata melalui tangan
Deakparujar sesungguhnya kerajaan Malim itu sudah lebih dulu ada di Banua
Ginjang. Kemudian Debata menciptakan dewa-dewa lainnya dan mengangkat mereka
sebagai pembantunya sekaligus mengikutsertakan mereka dalam barisan si pemilik
kerajaan Malim di Banua Ginjang. Dasar
untuk mempercayai semua “si pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang” tidaklah
bersumber dari kitab suci, tetapi merujuk kepada bunyi tonggo-tonggo (doa-doa),
yang disusun oleh Raja Nasiakbagi.[6]
Dapat artikan melalui
doa-doa itulah parmalim mengimani dan juga menjadikannya sebagai referensi
dalam melaksanakan ritual keagamaan. Bentuk teologi agama Malim bisa dikatakan
monoteisme campuran. Selain memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yaitu Debata Mulajadi Nabolon, agama ini juga mengajarkan kepada parmalim bahwa
adanya kepercayaan kepada penguasa supernatural lainnya yakni sejenis
dewa-dewa. Tetapi dewa-dewa
ini bukanlah dewa yang mahatinggi yang derajatnya sama dengan Debata Mulajadi
Nabolon. Mereka merupakan ciptaan dari Debata yang berfungsi untuk membantu-Nya
dan bukan yang menentukan alam semesta. Meskipun begitu, dalam kepercayaan
agama Malim dewa-dewa tersebut wajib dihormati dan disembah melalui upacara
agama. Berikut merupakan pemaparan tentang mereka si pemilik kerajaan Malim di
Banua Ginjang.
Ø Debata Mulajadi
Nabolon
Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Malim adalah Debata Mulajadi Nabolon
yang dalam bahasa Batak bermakna Debata yang “mahaawal” dan “mahabesar”. Dialah
Tuhan yang memiliki sifat maha pencipta, maha menjadikan, mahakuasa dan awal
mula dari segala yang ada. Tidak ada dari segala yang ada itu tak bermula dari
padanya-Nya. Debata Mulajadi Nabolon adalah dewa yang menguasai
seluruh sekaligus yang menciptakan alam semesta. Debata Mulajadi Nabolon
menciptakan alam semesta secara bertahap, terlebih dahulu ia menciptakan tiga
dewa utama yang disebut dengan Debata Natolu yang ketiganya bertahta di dunia
atas. Dalam susunan dewata, Debata Natolu berada langsung di bawah Debata
Mulajadi Nabolon.Wajib bagi setiap penganut agama Malim mempercayai wujud-Nya,
karena Dia-lah pencipta alam semesta dan si pemilik utama kerajaan Malim.
Ø Debata Na Tolu
Debata Na Tolu (Debata yang tiga) adalah nama kesatuan
dari dewa yang tiga yaitu dewa Bataraguru, Sorisohaliapan, dan Balabulan.
Ketiga-tiga dewa ini disebut sebagai dewa yang pertama dijadikan setelah Banua
Ginjang beserta isinya. Mereka memiliki tugas dan juga mandat oleh Debata untuk
memberikan pemberkatan kepada manusia. Mereka adalah sumber dari segala yang diperlukan manusia
agar manusia dapat hidup sejahtera. Tugas Bataraguru adalah sebagai tempat
bertanya manusia tentang segala yang berkaitan dengan uhum (hukum) dan harajoan
(kerajaan). Dewa kedua dari Debata Na Tolu adalah dewa
Sorisohaliapan. Dewa ini bertugas untuk menurunkan ajaran hamalimon (keagamaan)
kepada manusia di bumi. Menurut kepercayaan Malim, dia adalah asal mula
pangurason (perilaku yang suci), parsuksion (pensucian), haiason (kebersihan),
parsolamon (perilaku yang suci), dan hamalimon (kesalehan). Dan yang lebih
penting lagi disebutkan bahwa dari dialah sumber ajaran agama Malim yang
diturunkan kepada umat manusia melalui manusia terpilih yang disebut dengan
malim Debata (nabi) di Banua Tonga.
Dewa yang ketiga dari Debata Na Tolu adalah dewa
Balabulan. Dewa ini memiliki tugas untuk memberikan penerangan dan peramalan
(panurirangon), ketabiban (hadatuon), dan kekuatan (hagogoon) kepada manusia.
Orang
batak menyebutkan bahwa Bataraguru adalah dewa keadilan, Sorisohaliapan adalah
dewa belas kasih, dan Balabulan merupakan sumber kejahatan sekaligus sosok yang
selalu menyebarkan hasutan. Orang
Batak percaya bahwa Balabulan memliki porsi yang penting dalam mengelola urusan
manusia.[7]
Ø Si Boru
Deakparujar
Dalam kepercayaan agama Malim Deakparujar merupakan salah satu dewa yang
wajib disembah oleh parmalim. Deakparujar adalah satu-satunya dewa yang
mendapat kuasa untuk mencipatakan Banua Tonga (bumi) ini. Setiap upacara
keagamaan namanya wajib disebut dan disembah. Hingga kini ia dipercayai masih
berada di bulan. Dasar agama parmalim mempercayai Deakparujar yakni sama
seperti dewa-dewa yang lain adalah bunyi doa-doa.
Ø Nagapadohaniaji
Nagapadohaniaji
merupakan salah satu dewa yang ikut dalam kelompok si pemilik kerajaan Malim di
Banua Ginjang. Nagapadohaniaji diberi tugas oleh Debata Mulajadi Nabolon yakni
memelihara Banua Tonga, segala tugas yang berhubungan dengan pengelolaan bumi
dan segala berkaitan dengan keperluan kesejahteraan manusia. Agama Malim
mempercayai bahwa segala kemakmuran yang ada di bumi dan alam semest ini
berasal dari Nagapadohaniaji. Adapun dalil untuk mempercayai Nagapadohaniaji
sama dengan dewa-dewa lainnya yakni bersumber dari kepercayaan Batak dahulu
yang namanya objek pemujaan dalam upacara bius.
Ø Si Boru
Saniangnaga
Si bori
saniangnaga adalah Salah satu
dewa yang wajib diimani dalam agama Malim ialah Saniangnaga. Dia juga termasuk
dewa yang sama kedudukannya denagn dewa-dewa lainnya yaitu sama-sama si pemilik
kerajaan Malim di Banua Ginjang. Selain
wajib diimani Saningnaga juga wajib disembah setiap upacara keagamaan, dia juga
wajib dihormati.[8]
B). Kepercayaan
kepada Si Pemilik Kearajaan Malim di Banua Tonga
Kerajaan atau
juga dapa di Istilahkan harajaon dalam agama Malim berbeda pengertiannya dengan
pemahaman paa umumnya. Dalam pemahaman agama Malim, harajaon memiliki makna
keagamaan. Berhubungan dengan ini, maka yang dimaksud dengan raja bukanlah
memiliki arti yang sesungguhnya, tetapi”raja” yang dimaksud yaitu memiliki
tugas sebagai pembawa agama. Dalam kepercayaan agama Malim, ada empat orang
yang tecatat sebagai raja atau malim Debata yang sengaja diutus Debata khusus
kepada manusia suku Batak, yaitu Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamaraja,
dan Raja Nasiakbagi. Keempat raja ini diyakini merupakan perpanjangan
tangan Debata utnuk menyampaikan ajaran keagamaan kepada manusia suku Batak
dengan maksud supaya mereka berketuhanan (marhadebataon) dan beramala beribadat
(marhamalimo). Kemudian Sebagai perwujudan rasa hormat kepada malim Debata,
nama mereka wajib dipanggil dalam setiap upacara ibadat dengan maksud agar
ruh-ruh mereka turut hadir dalam upacara itu. Mereka dipuja dengan cara mempersembahkan sejumlah
sesaji (pelean).[9]
Berikut ini merupakan beberapa nama yang termasuk
malim Debata sekligus sebagai si pemilik kerajaan Maim di Banua Tonga.
Ø Raja
Uti
Meskipun riwayat hdup
Raja Uti tidak dijelaskan secara detail, tetapi dalam agama Malim ia dipercaya
sebagai seorang utusan Debata yang pertama diangkat untuk mengayomi umat suku
bangsa Batak. Menurut mereka ajaran yang dibawa oleh Raja Uti perlu dihayati
dan dipedomani dalam bercara hidup lebih-lebih jika berhubungan dengan Tuhan
Debata. Raja Uti bagi
agama Malim dipercayai sebagai seorang malim Debata yang pertama
diangkat di Tanah Batak sebagai kerajaan Malim di banua Tonga.
Ø Tuhan
Simarumbulubosi
Agama Malim yang
mepercayai bahwa baik Simarimbulubosi adalah benar sukuBatak asli yang masih
berjuai kepada Siraja Batak. Sifat
ketuhanan yang melekat pada diri Simarimbulubosi hanyalah sebagian dari sifat
kuasa yang dimiliki Debata.
Ø Raja Na Opat
Puluh Opat
Dalam kepercayaan agama Malim, Raja Naopatpuluopat adalah salah satu
nama yang tercatat sebagai malim atau utusan Debata. Kewajiabn mempercayai
sebagai utusan Debata tentu masih merujuk kepada buni doa-doa.
Menyebut nama RajaNa 44
kali hanyalah ada
dalam kepercayaan agama Malim sementara dalam mitologi Batak,
nama tersebut tidak pernah ada dan tidak
pernah disebut-sebut dalam lembaran cerita rakyat.
Ø Raja
Sisingamangaraja
Sisingamangaraja
XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo
Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun
1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain
itu ia juga disebut juga sebagai raja imam.
Ø Raja Nasiakbagi
Raja
Nasiakbagi adalah yang
menyerahkan konsep pengorganisasian dan ajaran Ugamo Malim sesuai dengan apa
yang diterimanya dari Raja Sisingamangaraja. Raja Nasiakbagi selalu menolak
apabila dirinya dianggap sosok Raja Sisingamangaraja XII ataupun penjelmaannya.
[10]
C). Kepercayaan kepada Habonaran
Kepercayaan Ini
Adalah Salah satu
komponen dalam sistem kepercayaan agama Malim adalah mempercayai adanya
”habonaraní”. Secara harfiah, kata ”habonaran” dalam bahasa Batak bisa bermakna
“kebenaran”. Istilah habonaran adalah nama yang disebut dengan nama
tohonan (jabatan) bagi pembantu Debata yang tugasnya yakni mambonarhon
(membenarkan). Maksudnya si pelaku yang memegang tugas “membenarkan”
itu bernama habonaran dan nama ini sesuai dengan tugasnya.
Dalam kepercayaan Malim, habonaran berwujud ruh. Dia
adalah ghaib, dan zatnya tidak dapat ditangkap oleh panca indra dari
manusia. Jumlah keseluruhan
habonaran tidak dapat diketahui dengan angka pasti, namun dapat dipastikan
lebih banyak dari jumlah manusia yang ada di permukaan bumi.
D). Kepercayaan kepada Sahala
Wujud dari sahala
adalah gaib, halus dan tidak dapat ditangkap oleh panca indra
manusia hampir sama dengan habonaran. Dalam kamus bahasa Batak Indonesia
mengartikan sahala sebagai “kharisma” dan “wibawa”, namun belumlah
tepat dengan makna yang sesungguhnya.
Vergouwen memaknakan sahala sebagai daya khusus dari
tondi (jiwa). Menurut kepercyaan agama Malim, sahala adalah ruh suci yang
bersumber dari Debata. disebut “marsahala” (yang mempunyai
sahala). Mulajadi Nabolon yang diturunkan melalui Balabulan kepada
seseorang manusia yang terpilih. Sahala juga bersifat tidak diketahui kapan
masuk dan hinggap pada diri manusia. Atau
Orang yang dihinggapi sahala. Itulah yang membedakan sahala dengan habonaran.[11]
2.
Ajaran-Ajaran
agama Malim
A). Konsep Kesucian Diri Menurut Agama
Parmalim
Agama Malim
sebagai jalan pertemuan dimaksudkan bahwa melalui agama inilah para penganutnya
dapat melakukan hubungan dengan Debata baik pada waktu melakukan upacara
keagamaan (ibadat) maupun diluar ibadat. Didalam agama Malim ada sejumlah
ajaran dan ibadat yang wajib diamalkan oleh setiap warga parmalim. Apabila ajaran dan ibadat itu diamalkan dengan baik
dan sempurna, maka orang yang mengamalkan itu disebut telah memiliki apa yang
disebut dengan kesucian jiawa (tondi hamalimon) . Artinya, pada dirinya
tertanam ruh atau cahaya kesucian dari Debata sebagai akibat dari pengalaman
ajaran yang sempurna itu. Inilah konsep kesucian diri.
Untuk sampai ke peringkat itu seseorang harus melewati
fase pengamalan agama yang dibawanya yaitu memiliki pemikiran dan perasaan yang
suci (roha hamalimon) dan berkehidupan suci (ngolu hamalimon). Apabila dua fase
pengamalan agama ini telah diamalkan dengan baik maka seseorang akan berpeluang
masuk ke taraf “kesucian diri” (tondi hamalimon). Taraf pengamalan agama yang
demikian inilah yang disebut dengan takwa, suatu sebutan peringkat tertinggi
dalam kedirian manusia parmalim.
B). Konsep Dosa
menurut Agama Malim
Dosa dalam
parmalim adalah perbuatan yang menjijikkan debata. Kriteria perbuatan dosa
menurut parmalim yakni apabila perbuatan itu tidak sesuai dengan aturan
debata yang tertuang dalam perintah
maupun larangan. Timbulnya dosa dalam malim hakikatnya akibat sifat dorongan
nafsu perbuatan jahat yang menyebabkan seseorang lupa dengan debata dan
dikuasai iblis.
Dalam parmaalim
dosa ada dua macam yaitu na metmet dosa kecil dan na balga dosa besar. Na
metmet seperti halnya mencuri dan menghina sedangkan na balga seperti membunuh
dan perbuatan yang diluar batas kemanusiaan. Untuk menebus dosa kecil parmalim
harus bertaubat dan berjanji tidak akan mengulanginya dihadapan debata
sedangkan untuk menebus besar tidak cukup dengan ucapan namun juga dengan
upacara khusus yang disebut mardebata.[12]
D. Upacara Keagamaan dalam Kepercayaan Parmalim
Parmalim melaksanakan
upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan
dosa serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti
dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim
sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo
Malim dengan melakukan ritual (Doa). Ke-7 aturan tersebut adalah :
v 1) Martutuake (Kelahiran) : Tradisi martutuaek ini
sudah ada sejak dari Siraja Batak, tetapi namanya bukan martutuaek melainkan
“Mangharonan” yaitu menyambut kelahiran. Namun setelah agama Malim
diresmikan pada saat Raja Nasiakbagi berkuasa, Mangharonan ini
berubah status hukumnya menjadi wajib dalam agama Malim, namanyapun berubah
menjadi “Martutuaek” yang artinya menyambut kelahiran tondi atau
ruh.
v 2) Pasahat
Tondi (Kematian) : Upacara pasahat tondi berasal dari
dua kata yaitu “Pasahat” adalah menyampaikan atau menyerahkan, sedangkan
makna “tondi” adalah “ruh”. Dengan demikian pasahat tondi berarti
menyerahkan ruh kepada Debata Mulajadi Nabolon. Sekaligus memohon kepada-Nya
agar dosa-dosanya diampuni.
v 3) Mararisabtu (peribadatan hari sabtu)
: Upacara Mararisabtu adalah upacara yang dilaksanakan sepekan sekali yaitu
hari sabtu. Penetapan hari sabtu sebagai ibadat yaitu karena Siboru Deakparujar
menggunakan hari itu sebagai hari istirahat atau hari tanpa aktivitas.
v 4) Mardebata
(peribadatan atas niat seseorang) : Secara harfiah,
mardebata bermakna “menyembah Debata” menurut istilah adalah, upacara
penyembahan kepada Debata dengan perantaraan sesaji yang bersih yang diantarkan
melalui bunyi-bunyian gendang selengkapnya (gondang sebangunan) atau
gendang kecapi (gondang hasapi).
v 5) Mangan
Napaet (peribadatan memohon penghapusan dosa) : Arti mangan Napaet dalam bahasa
Batak adalah “memakan yang pahit” , sedangkan meruut istilah adalah suatu
aturan (ibadat) yang wajib diamalkan oleh setiap warga parmalim pada setiap
akhir tahun.
v 6) Sipaha
Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi) : Upacara
Sipaha Sada adalah upacara khusus untuk memperingati hari kelahiran Tuhan
Simarumbulubosi yang jatuh pada hari kedua dan hari ketiga bulan sipaha sada.
v 7) Sipaha
Lima (peribadatan hari persembahan atau kurban) : Yaitu upacara
yang rutin setiap tahun dan wajib dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut.
Yaitu pada tanggal 12, 13, dan 14 bulan lima atau sipaha lima yang dipusatkan
di Bale Pasogit Partonggoan., Hutainggi atau rumaahh peribadatan Parmalim.
E. Interaksi Kepercayaan Orang Batak dengan Agama-agama Lain
Para sejarawan sepakat bahwa
ada pengaruh yang masuk dari Hinduisme dan Buddhisme. Hal ini dapat dilihat
dari bukti-bukti peninggalan yang ada di dalam Batak. Ada beberapa pendapat
yang menyatakan bahwa terdapat interaksi yang terjadi dari Hinduisme. Interaksi
itu terlihat dengan penggunaan kata Debata. Debata dalam agama Hindu-Jawa ialah
berasal dari kata Deva. Sedangkan Interaksi dengan islam dapat dilihat dari Kota Barus adalah yang pertama
menerima Islam di alam Melayu, lebih dahulu dari Pasai dan Samudera. Hal ini
terkait dengan daerah Barus sebagai penghasil kapur barus dan kemenyan. Kedua
jenis ini sudah diperdagangkan dengan orang-orang Cina, India, dan Timur Tengah
sejak abad ke-7, khusus para pedagang dari kesemuanya adlah Islam maka terjadi
kontak dengan para pekerja damar yang sebagian besar adalah Batak.
Agama lokal malim, dalam
hal ini bisa disamakan dengan penggunaan istilah agama asli atau agama pribumi.
Yang dimaksud dengan agama asli adalah sebuah agama yang bukan datang dari luar
suku penganutnya. Karenanya, agama asli kerap juga disebut agama suku atau
kelompok masyarakat. Agama ini lahir dan
hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap aspek kehidupan suku penganutnya.
Agama ini telah dianut oleh suku penganutnya jauh sebelum agama dunia
diperkenalkan kepada suku itu.[14] Masyarakat
suku Batak juga sukar menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Sifat tertutup
orang Batak mulai terbuka setelah terjadi penyerbuan dan pendudukan Islam di
bagian Selatan daerah Batak pada tahun 1830-an, yang kemudian disusul dengan
masuknya RMG pada tahun 1861, hampir bersamaan dengan permulaan masa pendudukan
Belanda secara bertahap atas daerah Batak. Gunung Pusuk Buhit yang terletak di sebelah barat
laut Danau Toba menurut mitologi Batak adalah tempat asal-usul Batak.[15]
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan
hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku
Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan
sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada. Interaksi Kristen
datang melalui misionaris Kristen, yang sudah diberi mandat untuk menyebarkan
agama Kristen di Indonesia dari Inggris. Yaitu Richard Burton, Nathaniel Ward,
dan Evans. Pada tahun 1924 melalui Sibolga, mereka memulai penjajahan
Penginjilan, sasaran utama adalah daerah danau Toba.
Keberadaan Parmalim ini mungkin nampak
stagnan, namun komunitas pengikut Parmalim sebenarnya mengalami perkembangan
dan pasang surut. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi)
terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa
Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi
melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam
tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga,
kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap
vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis
yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap
perbedaan corak tradisi antar daerah.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian
masyarakat ialah suatu Perwujudan kehidupan bersama manusia. Dalam masyarakat
berlangsung proses kehidupan sosial. Dari semua unsur kebudayaan yang dimiliki
suku bangsa Batak, ia menampakkan ciri kebudayaan yang khas jika dibandingkan
dengan kebudayaan suku bangsa lain di Indonesia, ia memiliki sistem
kekerabatan, adat, hukum, dan sistem kepercayaan, keagamaan yang berbeda dengan
suku bangsa yang lain. Kebudayaan Batak dalam proses awal perkembangannya telah
banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya asing.
Istilah debata pada awalnya
hanya dipakai untuk penegasan bahwa pribadi yang disembah masuk dalam golongan
dewa. Dapat juga dilihat pada tokoh-tokoh kepercayaan Batak lainnya yang
dianggap sebagai dewa mendapat penambahan kata ‘Debata’ di depan nama pribadi
yang disembah. Misalnya Debata Batara Guru, Debata Soripada, Debata Asi-Asi,
Debata Natarida (Tulang atau paman dan orang tua), dll. Tetapi setelah masuknya
Kekristenan (yang pada awalnya hanya sebatas strategi pelayanan) kata debata
semakin populer karena nama debata dijadikan sebagai nama pribadi Maha
Pencipta. Orang Batak mempunyai kultur yang memiliki kesamaan dengan bangsa
Proto-Melayu. Dalam religi mereka, orang Batak memuja-muja roh nenek moyang
mereka dan kekuatan-kekuatan alam yang memiliki peranan penting dalam seluruh
aktivitas keturunan mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Mufid, Ahmad syafi’in. Dinamika perkembangan
sistem kepercayaan lokal di indonesia. Jakarta : Puslitbang kementrian
agama RI, 2012.
Gultom, Ibrahim. Agama malim di tanah batak.
Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2010.
Hasibuan, Jamaludin. Seni budaya batak. Jakarta : PT.
Jayakarta agung offset. 1885.
Simanjuntak,
Bungaran antonius. Karakter batak masa lalu,kini dan masa depan.
Jakarta : Pustaka obor Indonesia. 2015.
Muhammad hakiki, Kiki. 2011. Ajaran Aliran
kebatinan di indonesia. Jakarta : Jurnal Aliran kepercayaann. Vol.VI, No.2
[1] Ibrahim Gultom. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
2010. Hal : 37
[2] Jamaludin
Hasibuan. Jakarta : PT. Jayakarta agung offset. 1885. Hal : 249
[3] Bungaran
antonius Simanjuntak.Jakarta : Pustaka obor Indonesia. 2015. Hal : 28
[4] Ibrahim
Gultom.. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2010. Hal : 98
[5] Ahmad
syafi’in Mufid. Jakarta : Puslitbang kementrian agama RI, 2012. Hal : 14
[6] Ahmad
syafi’in Mufid. Jakarta : Puslitbang kementrian agama RI, 2012. Hal : 13
[7] Bungaran
antonius Simanjuntak.Jakarta : Pustaka obor Indonesia. 2015. Hal : 62
[8] Ibrahim
Gultom. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2010. Hal : 123
[9] Ahmad
syafi’in Mufid. Jakarta : Puslitbang kementrian agama RI, 2012. Hal : 13
[10] Ibrahim
Gultom. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2010. Hal : 138
[11] Bungaran
antonius Simanjuntak. Jakarta : Pustaka obor Indonesia. 2015. Hal : 165
[12] Jamaludin
Hasibuan. Jakarta : PT. Jayakarta agung offset. 1885. Hal : 201
[13]Ibrahim Gultom. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
2010. Hal : 222-308
[14] Kiki Muhammad
hakiki. 2011. Jakarta : Jurnal Aliran kepercayaann. Vol.VI, No.2 Hal : 66
[15] Bungaran
antonius Simanjuntak. Jakarta : Pustaka obor Indonesia. 2015. Hal : 127
[16] Ahmad
syafi’in Mufid. Jakarta : Puslitbang kementrian agama RI, 2012. Hal : 15
Komentar
Posting Komentar